17.53 -
No comments


kenangan gunung Kelud
Maaas…mas….!”
“apa
rim?”
“aku
punya buku gambar dan spidol warna warni!!”
“oh
ya, kamu mau nggambar to?”
“aku
ndak bisa nggambar mas, aku gambarkan ya?”
“loh,
kalau ndak bisa nggambar kenapa beli buku gambar?”
“aku
di belikan ibuk di pasar tadi, gambarkan
ya mas?”
“tapi
aku mau angon di lapangan, kambing-kambingku
sudah dua hari ndak keluar kandang.”
“aku
ikut ya mas, nanti aku gambarkan waktu di lapangan”
“hem….
ya wes, tapi bilang dulu sama ibumu.”
“ndak
usah mas, ibu lagi keluar”.
rima
berlari lari kecil menuju ke arah jinal, yang sibuk menggiring kambingnya
keluar kandang, mereka berdua berjalan beriringan menuju tanah lapang, jinal
menggandeng tangan rima yang kecil. sesampai di lapangan jinal melepas kambing-kambingnya,
dia mengajak rima duduk di bawah pohon melinjo sambil mengawasi kambing yang
sibuk memakan rumput.
“mau
di gambarkan apa to?”
“terserah
sampeyan wes mas.”
“loh
kok terserah, wes tak gambarkan gunung saja ya?”
“iya
mas,. “jinal mulai menggoreskan spidol di atas kertas buku gambar milik rima
sambil sesekali melihat ke arah kambing-kambingnya. sedangkan rima begitu fokus
melihat gambar yang sedang di buat oleh jinal. “itu gambar apa to mas?”
“ya
ini gambar gunung rim.”
“gunung
kok bentuknya aneh gitu to mas, gunung itukan
harusnya bentuknya kayak segitiga, yang sampeyan gambar kok bentuknya
nggak jelas?”
“ini
gunung kelud rim, masa kamu ndak tau?”
“masa
gunung kelud bentuknya kayak gitu mas? aku sama bapak pernah lihat gunung bromo
bentuknya ndak kayak gini? ”
“memang
bentuknya gunung kelud ya seperti ini, agak
segitiga, tapi ada lekukannya, ya seperti yang tak gambar ini.”
“terus
yang di tengah-tengah itu apa mas?”
“ini
namanya anak gunung kelud”
”loh
kok gunung bisa ada anaknya?”
“lah
memang begitu, dulu gunung kelud ndak jadi meletus akhirnya lava nya membeku
jadi anak gunung kelud..”
“ah
masa bisa seperti itu sih mas, gunung kelud jauh nggak dari sini?”
“lah
itu lo kelihatan, tapi agak kecil kalau dilihat dari sini”
“mana
mas, aku ndak kelihatan”
“yo
ndak kelihatan,wong kamu pendek, disana juga ada gravitasi terbalik”
“apa
itu gravitasi terbalik mas?”
“itu
kalau kita naik sepeda jalannya kelihatan naik tapi walaupun sepedanya ndak di
kayuh seperdanya akan tetep bisa jalan, aneh to?”
“wah
hebat ya mas, kenapa bisa seperti itu ya?”
“ya
aku ndak tahu, mungkin di sana ada jinnya, wes ntar kalau kamu sudah besar bisa
pergi ke sana sendiri”
“tapi
aku pengen tahu sekarang mas”
“kalo
mau lihat gunungnya dari atas mlinjo kelihatan”
“aku
manjat melinjo ya mas”
“jangan
nanti kamu jatuh, perempuan kok manjat pohon”
“ndak
apa-apa mas, aku bisa manjat kok, rumahku yang di Solo ada pohon mangganya, aku
biasanya manjat pohon mangga.”
“ah
jangan, nanti aku di marahi ibukmu”
“ayo
to mas?”
“wes
ndak boleh, nanti ndak tak gambarkan kalo kamu manjat pohon!”
“ah….mas
Jinal,.. yo wes aku ndak jadi manjat.” Rima kembali duduk di sebelah jinal
dengan wajah kesal. Jinal meneruskan menggambar gunung beserta pemandangannya,
sedangkan Rima terus saja bertanya tentang gambar gunung kelud itu, dia semakin
penasaran dengan gunung kelud yang katanya ada anaknya.
“Mas,
sampeyan pernah ke gunung kelud?”
“pernah,
2 kali pas ikut larung sesaji, waktu itu gunung kelud belum ada anaknya, jadi
masih seperti kolam air, tapi airnya panas.”
“yang
sekali lagi kapan mas?”
“waktu
gunung kelud ndak jadi meletus, jadi kolam air panasnya berubah menjadi anak
gunung kelud”
“wah
aku juga mau kesana, nanti kalo kesana lagi ajak aku ya mas.”
“Iya
kalo kamu sudah besar nanti tak ajak, kalo sekarang kamu ndak kuat mendaki
gunung nanti capek minta gendong.”
“Ndak
kok mas, aku kuat kok”
“Alaah,
wong kemaren ikut ke sawah aja, di tengah jalan minta gendong gitu.”
“Itu
kakiku sakit mas, liburan nanti kan aku kesini lagi, ajak aku ke gunung kelud
ya?”
“Wah
kamu ini ngeyel ya, ya wes nanti tak ajak, tapi ndak boleh minta gendong kalo
capek.”
“Iya
mas” Rima tersenyum sumringah ketika Jinal mau mengajaknya ke gunung kelud
waktu liburan panjang selanjutnya.
“Nah
ini gambarnya sudah jadi, aku tak nggiring kambing ke tengah dulu, itu sudah
ada yang lari ke kebun orang.”
“iya
mas”
“kamu
di sini saja, jangan kemana-mana lo”
“iyo-iyo
mas.” Jinal segera berlari menggiring kambingnya ke tengah lapangan, di sana
ada beberapa anak yang juga sedang angon,
jinal mendekati mereka dan berbincang-bincang, sementara itu Rima asyik
memandangi gambar gunung kelud yang baru saja di selesaikan oleh Jinal, sayang
sekarang dia belum bisa melihatnya langsung, ada guratan kekecewaan yang
terlihat di wajah mungilnya, dia melihat ke arah pohon mlinjo, tiba-tiba dia
tersenyum. Rima berdiri dan mengamati pohon yang cukup tinggi itu, pohon mlinjo
memiliki cabang seperti ruas-ruas yang sejajar, Rima berfikir akan mudah jika
dia memanjat pohon mlinjo untuk sekedar melihat gunung kelud. dia melihat ke
arah Jinal yang masih asyik mengobrol bersama beberapa temannya.Rima tersenyum
lagi, kemudian mencoba memanjat pohon mlinjo, jarak antar ruas tidak terlalu
jauh, sehingga mudah saja baginya untuk menjangkau tiap ruasnya menuju puncak
pohon.
Rima
tidak menyadari bahwa setiap ruas pohon itu sangat rapuh dan mudah patah.
melihat puncak pohon sudah terlihat, Rima semakin semangat sehingga tidak memperhatikan
ruas yang dia injak, tiba-tiba saja ruas yang dia injak patah dan….
“Bruuuuk…..!!!!!!”
“hei
nal, lihat ada anak jatuh dari pohon mlinjo!” teriak seorang anak.
Jinal
melihat ke arah pohon yang dimaksudkan, dia terperanjat karena dia tadi
meninggalkan Rima disana. Jinal dan beberapa temannya segera menuju ke arah
pohon mlinjo tempatnya meninggalkan Rima
dan benar saja sesosok tubuh kecil meringkuk di bawah pohon, ada darah yang
keluar dari pelipis kirinya. Jinal sangat panik dia menggendong rima dan
berlari pulang diikuti oleh beberapa temannya.
“Mbah…mbah
Kasmini… putumu mbah…. putumu jatuh dari pohon….!!!”
Jinal
segera masuk rumah, disana ada ibu rima dan mbah kasmini yang sedang
memotong-motong terong untuk di masak.
“Ealaah
gusti pengeran….Rima nyapo iki??” mbah Kasmini begitu terkejut melihat keadaan Rima,
sedangkan ibu Rima dengan sigap mengambil Rima dari gendongan Jinal, dan
membaringkannya di atas dipan.
“Nal
panggilkan bapaknya Rima” teriak ibunya Rima,
Jinal segera berlari memanggil bapaknya Rima,Jinal begitu ketakutan melihat
rima yang tak sadarkan diri. tak lama kemudian dengan di bonceng sepeda motor
rima di bawa ke rumah sakit.
“Nal,
awakmu iki piye to, kok adiknya manjat pohon di biarkan. tadi kok ndak bilang
dulu kalo mau ngajak Rima ke lapangan, wes setelah ini ndak usah ngajak main Rima,
sekarang kamu pulang!” mbah Kasmini begitu marah kepada Jinal, dia menyangka Jinal
lalai menjaga putu semata wayangnya. Jinal pun pulang dengan ketakutan, dia
sampai lupa kalau masih meninggalkan kambingnya di lapangan.
“Plaaaakkk!”
tamparan dari ayahnya menyambut kepulangan Jinal. Jinal memegangi pipinya yang
kesakitan.
“Kamu
ini kenapa ngajak Rima ke lapangan, sudah tahu Rima itu putunya majikan Bapak,
kalo Rima ada apa-apa Bapakmu ini bisa di pecat, kamu dan Emakmu mau makan
apa??”
“Ampun
pak, kulo ndak sengaja ninggal rima sebentar dia malah manjat pohon.”
“tapi
kamu yang salah, kenapa ndak ijin dulu kalo mau ngajak Rima”
“Rima
yang maksa ikut pak.”
“Plaaak….!!!”
“Kamu
ini njawab aja kalo di kasih tahu orang tua!”
kemarahan
bapaknya Jinal makin menjadi, Jinal menunduk sambil memegangi pipinya, dia
sangat ketakutan.
“wes
to pak, jangan di ajar terus kayak gitu, Jinal ndak sengaja” bela sang ibu.
bapak Jinal kemudian duduk sambil menahan emosi.
“Le
kambing-kambingnya mana?”
“Masih
di lapangan mak.”
“Ealah
le, itu semua kambing titipan, ya wes
sekarang ke lapangan ambil-kambing-kambingnya!” kata sang ibu. Jinal pun
segera berlari keluar, dia terus berlari sambil menangis ketakutan. Jinal anak
yag sangat perasa dan penurut. dia tak pernah sekalipun mengecewakan
orangtuanya, gara-gara kelalaiannya dia mendapat tamparan keras dari sang
bapak, dan juga sekarang Rima putu mbah Kasmini harus masuk rumah sakit, ada
sesal dan perasaan bersalah yang amat dalam yang di rasakan oleh jinal.sesampai
di lapangan dia melihat beberapa kambingnya
di bawah mlinjo. ya mlinjo yang telah membuat rima jatuh tadi, jinal
menghampiri pohon mlinjo itu, di sana masih terdapat bekas darah rima, buku gambar, dan spidol warna warni
berserakan. jinal mengambil gambar gunung kelud yang dia gambar untuk rima, dia
melihat ke atas pohon mlinjo, Jinal mencoba memanjat pohon tersebut dengan
sangat hati-hati, dari puncak pohon terlihat jelas seperti apa bentuk gunung
kelud yang sesungguhnya,memang bentuknya tidak seperti gunung-gunung lain,
orang yang pertama kai melihatnya pasti mengira itu hanya sebuah bukit, gunung
kelud semakin menarik ketika tahun 2007 lalu tidak jadi meletus, sehingga lava
yang membeku membentuk anak gunung yang terletak di tengah-tengah gunung kelud.
ah seandainya saja tadi Jinal tidak menggambar gunung kelud atau
menceritakannya,pasti Rima tidak akan nekat memanjat pohon, anak sekecil Rima yang masih belum genap 6 tahun jatuh dari pohon
mlinjo setinggi itu, pasti sangat sakit. Jinal menghela nafas panjang….
***
liburan sekolah
selanjutnya…
“Assalamualaikum
mbah.”
“wa’alaikum
salam, Rima… putuku, sini nduk mendekat mbah”
rima yang berdiri di depan pintu bersama kedua orang tuanya berlari
menghampiri mbah kasmini, si mbah langsung memeluk putu kesayangannya. “waduh
sekarang sudah tambah tinggi, cantik pula!” rima tersenyum mendengar pujian
mbahnya. “mbah, aku lapar…”
“eh
jangan gitu, ndak sopan itu namanya.” kata sang ibu memperingatkan. rima
melihat ke arah ibunya sambil manyun.
“wealah…he..he,
putuku ini lapar to? si mbah sudah menyiapkan makanan kesukaan kamu, sayur tewel sama ikan asin, Tim…. Patim..!!!
tolong ambilkan makan buat putuku ini.” teriak mbah kasmini memanggil
pembantunya.
“Nggeh
mbah, sini nduk, mak patim ambilkan makan.” jawab sang pembantu yang muncul
dari arah dapur. rima melihat ke arah pembantu mbah kasmini tersebut.
“Mak
patim,..!!” teriak Rima.
“iya
nduk, ayo ikut mak ke dapur”
“Mak
Patim, mas Jinal ada di rumah?”
“eh
mas Jinalnya…..”
”Mas
Jinal kemana mak? waktu liburan kemaren mas Jinal janji ngajak aku ke kelud
loh, aku mau nagih janji sama mas jinal.” kata Rima bersemangat.
“Kalo
mau ke kelud sama bapak saja Rima” kata sang ibu.
“Ndak
mau bu, aku mau sama mas Jinal, aku mau lihat anaknya gunung kelud sama mas Jinal
wong mas Jinal sudah janji kok!”
“yo
wes, ayo sekarang makan dulu, kan katanya tadi lapar.” kata mbah Kasmini.
“Ah
aku ke rumah mak Patim ya? biar mas jinal tak kejutkan, mas Jinal belum tahu
kalau aku datangkan??” tanpa menunggu jawaban Rima langsung berlari keluar
menuju rumah Jinal yang berada tak jauh dari rumah mbahnya. sesampainya di sana
tanpa mengetuk pintu Rima langsung masuk rumah. “ mas Jinaaaaal” teriak Rima,
rumah itu kosong tak ada seorangpun disana. “mas Jinaaal ini aku Rima, Sampeyan
dimana??” Rima membuka tiap ruangan, kemudian dia berlari ke belakang rumah,
barangkali saja Jinal ada di kandang kambing, memberi makan kambing-kambingnya.
“mas
Jinaaal… Sampeyan dimana??” Rima terus berteriak teriak memanggil nama Jinal.
“nduuk,
siniii..” panggil mak Patim, dari arah
rumah mbah Kasmini kemudian mak patim berlari ke arah Rima. “nduk mas Jinal sudah
ndak ada”
“Ndak
ada kemana mak?”
“
Mas Jinal sudah meninggal sebulan yang lalu”
“Apa?
mas Jinal meninggal? hua…hua….hua…. mas Jinaaaalll!!” Rima menangis
sekeras-kerasnya. mak Patim memeluk Rima dengan erat sambil mengusap kepalanya.
mak Patim ikut meneteskan air mata, mengingat anaknya yang meninggal karena
tersengat aliran listrik itu. Jinal yang masih berusia 13 tahun berusaha
memperbaiki sumur yang terhubung dengan
listrik, tapi ternyata terjadi konsleting listrik sehingga Jinal yang masih
berada di dalam sumur penuh air ikut
tersengat dan meninggal seketika.
“wes
cup..cup nduk, ikhlaskan mas Jinal.” bujuk mak Patim, dia berusaha menenangkan
rima yang masih terus menangis sambil memanggil nama Jinal.
“tapi
mas Jinal janji ngajak aku lihat gunung Kelud… hua…hua….”
“Iya,
nanti ke kelud ya, sama bapak, sama ibu, mak patim minta maaf mas Jinal ndak
bisa menepati janjinya.” Rima terus saja menangis sambil memeluk mak patim.
“Eh
ndak baik kalo nangis terus, ayo masuk rumah,” Rima pun mengikuti mak patim
sambil sesenggukan, dia mengusap air matanya yang terus mengalir di pipinya
itu, Rima duduk di kursi yang ada di dapur, dia mengucek ngucek matanya yang
masih penuh air mata sambil sesekali sesenggukan. Mak patim tampak iba melihat
putu majikannya yang terus menangis mencari anaknya yang telah di panggil
tuhan, hatinya miris karena sebenarnya dia juga sangat kehilangan Jinal.
“Oh
iya mas Jinal punya sesuatu buat kamu, sebentar ya mak ambilkan.”
mak
patim mengambil sesuatu dari kamarnya.
“Ini,
lukisan gunung kelud yang di buat mas Jinal buat kamu, dan yang ini gambar
gunung kelud yang di buat sama mas Jinal dulu to, kamu ingat nggak?” Rima mengangguk.
dia memandangi lukisan gunung kelud yang telah di beri pigura itu, kelihatan
cantik sekali, tangan kirinya memegang gambar gunung kelud yang di buat Jinal di
bawah pohon mlinjo bersama Rima dulu.
“Mas
Jinal sekarang ngapain ya mak?” tanya Rima sambil terus sesenggukan menahan air
matanya yang terus saja memaksa untuk keluar.
“Mas
Jinal sudah bahagia di sisi gusti Allah nduk, sebenarnya lukisan itu mau di
berikan sama kamu waktu pulang dari rumah sakit, tapi ternyata kamu langsung
pulang ke Solo ndak ke rumah mbahmu dulu.” Rima diam melihat lukisan itu dia
kemudian berdiri sambil memeluk lukisan gunung kelud miliknya.
“Aku
pulang dulu ya mak, mbah pasti khawatir, aku juga lapar.”
“ayo
pulang sama mak”
“Ndak
usah mak aku mau pulang sendiri” Rima berjalan menunduk sambil terus memeluk
lukisan yang di buat Jinal. sepanjang jalan Rima menangis,mengingat Jinal. Dia dulu
tidak sempat berpamitan pada Jinal waktu pulang ke solo, sekarang Jinal telah
meninggal. Sesampai di rumah, Rima membuka pintu dengan gontai dan langsung
berjalan menuju kamar, dia tak menghiraukan panggilan mbahnya. Rima berbaring
sambil tetap memeluk lukisan itu, ada berbagai perasaan yang berkecamuk dalam
hatinya, antara sedih dan sesal. beberapa saat kemudian sang ibu masuk kamar. “Rima, kalau pengen ke gunung kelud, besok sama
bapak sama ibu ya?”
“ndak
usah bu”
“Loh
kenapa? katanya Rima pengen ke gunung kelud”
“Nanti
saja kalau sudah besar aku pergi ke gunung kelud sendiri”
“ya
sudah kalau begitu, rima ndak jadi makan? itu sudah di siapin lo?
“Ndak bu, Rima mau tidur, capek.”
“Ndak bu, Rima mau tidur, capek.”
“Ya
sudah kalo begitu ibu tinggal, nanti kalau lapar tinggal bilang mak Patim biar
di ambilkan.”
“Iya
bu” sang ibu keluar kamar dan membiarkan Rima sendiri. Rima memejamkan matanya
dan masih terus menangis sampai- sampai dia tertidur dalam tangisannya..
***
“mas jinal….!”
“apa?”
“aku capek”
“tuh mesti, tadi dilarang ikut ke
sawah maksa ikut”
“tapi sekarang aku capek”
“ya sudah ayo tak gendong”
“he..he…”
“uh udah tambah berat ya”
“mas nanti kalo sudah dewasa aku
mau jadi istrinya mas jinal”
“ah aku ndak mau, punya istri
ngeyelen kayak kamu”
“ah mas jinaaaal….”
“ha…ha…ha”
0 komentar:
Posting Komentar