Kamis, 24 Januari 2013

17.53 - No comments

kenangan gunung Kelud




Maaas…mas….!”
“apa rim?”
“aku punya buku gambar dan spidol warna warni!!”
“oh ya, kamu mau nggambar to?”
“aku ndak bisa nggambar mas, aku gambarkan ya?”
“loh, kalau ndak bisa nggambar kenapa beli buku gambar?”
“aku di belikan ibuk di pasar  tadi, gambarkan ya mas?”
“tapi aku mau angon di lapangan, kambing-kambingku sudah dua hari ndak keluar kandang.”
“aku ikut ya mas, nanti aku gambarkan waktu di lapangan”
“hem…. ya wes, tapi bilang dulu sama ibumu.”
“ndak usah mas, ibu lagi keluar”.
rima berlari lari kecil menuju ke arah jinal, yang sibuk menggiring kambingnya keluar kandang, mereka berdua berjalan beriringan menuju tanah lapang, jinal menggandeng tangan rima yang kecil. sesampai di lapangan jinal melepas kambing-kambingnya, dia mengajak rima duduk di bawah pohon melinjo sambil mengawasi kambing yang sibuk memakan rumput.

“mau di gambarkan apa to?”
“terserah sampeyan wes mas.”
“loh kok terserah, wes tak gambarkan gunung saja ya?”
“iya mas,. “jinal mulai menggoreskan spidol di atas kertas buku gambar milik rima sambil sesekali melihat ke arah kambing-kambingnya. sedangkan rima begitu fokus melihat gambar yang sedang di buat oleh jinal. “itu gambar apa to mas?”
“ya ini gambar gunung rim.”
“gunung kok bentuknya aneh gitu to mas, gunung itukan  harusnya bentuknya kayak segitiga, yang sampeyan gambar kok bentuknya nggak jelas?”
“ini gunung kelud rim, masa kamu ndak tau?”
“masa gunung kelud bentuknya kayak gitu mas? aku sama bapak pernah lihat gunung bromo bentuknya ndak kayak gini? ”
“memang bentuknya gunung kelud ya seperti ini, agak  segitiga, tapi ada lekukannya, ya seperti yang tak gambar ini.”
“terus yang di tengah-tengah itu apa mas?”
“ini namanya anak gunung kelud”
”loh kok gunung bisa ada anaknya?”
“lah memang begitu, dulu gunung kelud ndak jadi meletus akhirnya lava nya membeku jadi anak gunung kelud..”
“ah masa bisa seperti itu sih mas, gunung kelud jauh nggak dari sini?”
“lah itu lo kelihatan, tapi agak kecil kalau dilihat dari sini”
“mana mas, aku ndak kelihatan”
“yo ndak kelihatan,wong kamu pendek, disana juga ada gravitasi terbalik”
“apa itu gravitasi terbalik mas?”
“itu kalau kita naik sepeda jalannya kelihatan naik tapi walaupun sepedanya ndak di kayuh seperdanya akan tetep bisa jalan, aneh to?”
“wah hebat ya mas, kenapa bisa seperti itu ya?”
“ya aku ndak tahu, mungkin di sana ada jinnya, wes ntar kalau kamu sudah besar bisa pergi ke sana sendiri”
“tapi aku pengen tahu sekarang mas”
“kalo mau lihat gunungnya dari atas mlinjo  kelihatan”
“aku manjat melinjo ya mas”
“jangan nanti kamu jatuh, perempuan kok manjat pohon”
“ndak apa-apa mas, aku bisa manjat kok, rumahku yang di Solo ada pohon mangganya, aku biasanya manjat pohon mangga.”
“ah jangan, nanti aku di marahi ibukmu”
“ayo to mas?”
“wes ndak boleh, nanti ndak tak gambarkan kalo kamu manjat pohon!”
“ah….mas Jinal,.. yo wes aku ndak jadi manjat.” Rima kembali duduk di sebelah jinal dengan wajah kesal. Jinal meneruskan menggambar gunung beserta pemandangannya, sedangkan Rima terus saja bertanya tentang gambar gunung kelud itu, dia semakin penasaran dengan gunung kelud yang katanya ada anaknya.
“Mas, sampeyan pernah ke gunung kelud?”
“pernah, 2 kali pas ikut larung sesaji, waktu itu gunung kelud belum ada anaknya, jadi masih seperti kolam air, tapi airnya panas.”
“yang sekali lagi kapan mas?”
“waktu gunung kelud ndak jadi meletus, jadi kolam air panasnya berubah menjadi anak gunung kelud”
“wah aku juga mau kesana, nanti kalo kesana lagi ajak aku ya mas.”
“Iya kalo kamu sudah besar nanti tak ajak, kalo sekarang kamu ndak kuat mendaki gunung nanti capek minta gendong.”
“Ndak kok mas, aku kuat kok”
“Alaah, wong kemaren ikut ke sawah aja, di tengah jalan minta gendong gitu.”
“Itu kakiku sakit mas, liburan nanti kan aku kesini lagi, ajak aku ke gunung kelud ya?”
“Wah kamu ini ngeyel ya, ya wes nanti tak ajak, tapi ndak boleh minta gendong kalo capek.”
“Iya mas” Rima tersenyum sumringah ketika Jinal mau mengajaknya ke gunung kelud waktu liburan panjang selanjutnya.
“Nah ini gambarnya sudah jadi, aku tak nggiring kambing ke tengah dulu, itu sudah ada yang lari ke kebun orang.”
“iya mas”
“kamu di sini saja, jangan kemana-mana lo”
“iyo-iyo mas.” Jinal segera berlari menggiring kambingnya ke tengah lapangan, di sana ada beberapa anak yang juga sedang angon, jinal mendekati mereka dan berbincang-bincang, sementara itu Rima asyik memandangi gambar gunung kelud yang baru saja di selesaikan oleh Jinal, sayang sekarang dia belum bisa melihatnya langsung, ada guratan kekecewaan yang terlihat di wajah mungilnya, dia melihat ke arah pohon mlinjo, tiba-tiba dia tersenyum. Rima berdiri dan mengamati pohon yang cukup tinggi itu, pohon mlinjo memiliki cabang seperti ruas-ruas yang sejajar, Rima berfikir akan mudah jika dia memanjat pohon mlinjo untuk sekedar melihat gunung kelud. dia melihat ke arah Jinal yang masih asyik mengobrol bersama beberapa temannya.Rima tersenyum lagi, kemudian mencoba memanjat pohon mlinjo, jarak antar ruas tidak terlalu jauh, sehingga mudah saja baginya untuk menjangkau tiap ruasnya menuju puncak pohon.
Rima tidak menyadari bahwa setiap ruas pohon itu sangat rapuh dan mudah patah. melihat puncak pohon sudah terlihat, Rima semakin semangat sehingga tidak memperhatikan ruas yang dia injak, tiba-tiba saja ruas yang dia injak patah dan….
“Bruuuuk…..!!!!!!”
“hei nal, lihat ada anak jatuh dari pohon mlinjo!” teriak seorang anak.
Jinal melihat ke arah pohon yang dimaksudkan, dia terperanjat karena dia tadi meninggalkan Rima disana. Jinal dan beberapa temannya segera menuju ke arah pohon mlinjo  tempatnya meninggalkan Rima dan benar saja sesosok tubuh kecil meringkuk di bawah pohon, ada darah yang keluar dari pelipis kirinya. Jinal sangat panik dia menggendong rima dan berlari pulang diikuti oleh beberapa temannya.
“Mbah…mbah Kasmini… putumu mbah…. putumu jatuh dari pohon….!!!”
Jinal segera masuk rumah, disana ada ibu rima dan mbah kasmini yang sedang memotong-motong terong untuk di masak.
“Ealaah gusti pengeran….Rima nyapo iki??” mbah Kasmini begitu terkejut melihat keadaan Rima, sedangkan ibu Rima dengan sigap mengambil Rima dari gendongan Jinal, dan membaringkannya di atas dipan.
“Nal panggilkan bapaknya Rima”  teriak ibunya Rima, Jinal segera berlari memanggil bapaknya Rima,Jinal begitu ketakutan melihat rima yang tak sadarkan diri. tak lama kemudian dengan di bonceng sepeda motor rima di bawa ke rumah sakit.
“Nal, awakmu iki piye to, kok adiknya manjat pohon di biarkan. tadi kok ndak bilang dulu kalo mau ngajak Rima ke lapangan, wes setelah ini ndak usah ngajak main Rima, sekarang kamu pulang!” mbah Kasmini begitu marah kepada Jinal, dia menyangka Jinal lalai menjaga putu semata wayangnya. Jinal pun pulang dengan ketakutan, dia sampai lupa kalau masih meninggalkan kambingnya di lapangan.
“Plaaaakkk!” tamparan dari ayahnya menyambut kepulangan Jinal. Jinal memegangi pipinya yang kesakitan.
“Kamu ini kenapa ngajak Rima ke lapangan, sudah tahu Rima itu putunya majikan Bapak, kalo Rima ada apa-apa Bapakmu ini bisa di pecat, kamu dan Emakmu mau makan apa??”
“Ampun pak, kulo ndak sengaja ninggal rima sebentar dia malah manjat pohon.”
“tapi kamu yang salah, kenapa ndak ijin dulu kalo mau ngajak Rima”
“Rima yang maksa ikut pak.”
“Plaaak….!!!”
“Kamu ini njawab aja kalo di kasih tahu orang tua!”
kemarahan bapaknya Jinal makin menjadi, Jinal menunduk sambil memegangi pipinya, dia sangat ketakutan.
“wes to pak, jangan di ajar terus kayak gitu, Jinal ndak sengaja” bela sang ibu. bapak Jinal kemudian duduk sambil menahan emosi.
“Le kambing-kambingnya mana?”
“Masih di lapangan mak.”
“Ealah le, itu semua kambing titipan, ya wes  sekarang ke lapangan ambil-kambing-kambingnya!” kata sang ibu. Jinal pun segera berlari keluar, dia terus berlari sambil menangis ketakutan. Jinal anak yag sangat perasa dan penurut. dia tak pernah sekalipun mengecewakan orangtuanya, gara-gara kelalaiannya dia mendapat tamparan keras dari sang bapak, dan juga sekarang Rima putu mbah Kasmini harus masuk rumah sakit, ada sesal dan perasaan bersalah yang amat dalam yang di rasakan oleh jinal.sesampai di lapangan dia melihat beberapa kambingnya  di bawah mlinjo. ya mlinjo yang telah membuat rima jatuh tadi, jinal menghampiri pohon mlinjo itu, di sana masih terdapat bekas darah  rima, buku gambar, dan spidol warna warni berserakan. jinal mengambil gambar gunung kelud yang dia gambar untuk rima, dia melihat ke atas pohon mlinjo, Jinal mencoba memanjat pohon tersebut dengan sangat hati-hati, dari puncak pohon terlihat jelas seperti apa bentuk gunung kelud yang sesungguhnya,memang bentuknya tidak seperti gunung-gunung lain, orang yang pertama kai melihatnya pasti mengira itu hanya sebuah bukit, gunung kelud semakin menarik ketika tahun 2007 lalu tidak jadi meletus, sehingga lava yang membeku membentuk anak gunung yang terletak di tengah-tengah gunung kelud. ah seandainya saja tadi Jinal tidak menggambar gunung kelud atau menceritakannya,pasti Rima tidak akan nekat memanjat pohon, anak sekecil Rima yang  masih belum genap 6 tahun jatuh dari pohon mlinjo setinggi itu, pasti sangat sakit. Jinal menghela nafas panjang….
***
liburan sekolah selanjutnya…
“Assalamualaikum mbah.”
“wa’alaikum salam, Rima… putuku, sini nduk mendekat mbah”  rima yang berdiri di depan pintu bersama kedua orang tuanya berlari menghampiri mbah kasmini, si mbah langsung memeluk putu kesayangannya. “waduh sekarang sudah tambah tinggi, cantik pula!” rima tersenyum mendengar pujian mbahnya. “mbah, aku lapar…”
“eh jangan gitu, ndak sopan itu namanya.” kata sang ibu memperingatkan. rima melihat ke arah ibunya sambil manyun.
“wealah…he..he, putuku ini lapar to? si mbah sudah menyiapkan makanan kesukaan kamu, sayur tewel sama ikan asin, Tim…. Patim..!!! tolong ambilkan makan buat putuku ini.” teriak mbah kasmini memanggil pembantunya.
“Nggeh mbah, sini nduk, mak patim ambilkan makan.” jawab sang pembantu yang muncul dari arah dapur. rima melihat ke arah pembantu mbah kasmini tersebut.
“Mak patim,..!!” teriak Rima.
“iya nduk, ayo ikut mak ke dapur”
“Mak Patim, mas Jinal ada di rumah?”
“eh mas Jinalnya…..”
”Mas Jinal kemana mak? waktu liburan kemaren mas Jinal janji ngajak aku ke kelud loh, aku mau nagih janji sama mas jinal.” kata Rima bersemangat.
“Kalo mau ke kelud sama bapak saja Rima” kata sang ibu.
“Ndak mau bu, aku mau sama mas Jinal, aku mau lihat anaknya gunung kelud sama mas Jinal wong mas Jinal sudah janji kok!”
“yo wes, ayo sekarang makan dulu, kan katanya tadi lapar.” kata mbah Kasmini.
“Ah aku ke rumah mak Patim ya? biar mas jinal tak kejutkan, mas Jinal belum tahu kalau aku datangkan??” tanpa menunggu jawaban Rima langsung berlari keluar menuju rumah Jinal yang berada tak jauh dari rumah mbahnya. sesampainya di sana tanpa mengetuk pintu Rima langsung masuk rumah. “ mas Jinaaaaal” teriak Rima, rumah itu kosong tak ada seorangpun disana. “mas Jinaaal ini aku Rima, Sampeyan dimana??” Rima membuka tiap ruangan, kemudian dia berlari ke belakang rumah, barangkali saja Jinal ada di kandang kambing, memberi makan kambing-kambingnya.
“mas Jinaaal… Sampeyan dimana??” Rima terus berteriak teriak memanggil nama Jinal.
“nduuk, siniii..” panggil  mak Patim, dari arah rumah mbah Kasmini kemudian mak patim berlari ke arah Rima. “nduk mas Jinal sudah ndak ada”
“Ndak ada kemana mak?”
“ Mas Jinal sudah meninggal sebulan yang lalu”
“Apa? mas Jinal meninggal? hua…hua….hua…. mas Jinaaaalll!!” Rima menangis sekeras-kerasnya. mak Patim memeluk Rima dengan erat sambil mengusap kepalanya. mak Patim ikut meneteskan air mata, mengingat anaknya yang meninggal karena tersengat aliran listrik itu. Jinal yang masih berusia 13 tahun berusaha memperbaiki sumur  yang terhubung dengan listrik, tapi ternyata terjadi konsleting listrik sehingga Jinal yang masih berada di dalam sumur penuh air  ikut tersengat dan meninggal seketika.
“wes cup..cup nduk, ikhlaskan mas Jinal.” bujuk mak Patim, dia berusaha menenangkan rima yang masih terus menangis sambil memanggil nama Jinal.
“tapi mas Jinal janji ngajak aku lihat gunung Kelud… hua…hua….”
“Iya, nanti ke kelud ya, sama bapak, sama ibu, mak patim minta maaf mas Jinal ndak bisa menepati janjinya.” Rima terus saja menangis sambil memeluk mak patim.
“Eh ndak baik kalo nangis terus, ayo masuk rumah,” Rima pun mengikuti mak patim sambil sesenggukan, dia mengusap air matanya yang terus mengalir di pipinya itu, Rima duduk di kursi yang ada di dapur, dia mengucek ngucek matanya yang masih penuh air mata sambil sesekali sesenggukan. Mak patim tampak iba melihat putu majikannya yang terus menangis mencari anaknya yang telah di panggil tuhan, hatinya miris karena sebenarnya dia juga sangat kehilangan Jinal.
“Oh iya mas Jinal punya sesuatu buat kamu, sebentar ya mak ambilkan.”
mak patim mengambil sesuatu dari kamarnya.
“Ini, lukisan gunung kelud yang di buat mas Jinal buat kamu, dan yang ini gambar gunung kelud yang di buat sama mas Jinal dulu to, kamu ingat nggak?” Rima mengangguk. dia memandangi lukisan gunung kelud yang telah di beri pigura itu, kelihatan cantik sekali, tangan kirinya memegang gambar gunung kelud yang di buat Jinal di bawah pohon mlinjo bersama Rima dulu.
“Mas Jinal sekarang ngapain ya mak?” tanya Rima sambil terus sesenggukan menahan air matanya yang terus saja memaksa untuk keluar.
“Mas Jinal sudah bahagia di sisi gusti Allah nduk, sebenarnya lukisan itu mau di berikan sama kamu waktu pulang dari rumah sakit, tapi ternyata kamu langsung pulang ke Solo ndak ke rumah mbahmu dulu.” Rima diam melihat lukisan itu dia kemudian berdiri sambil memeluk lukisan gunung kelud miliknya.
“Aku pulang dulu ya mak, mbah pasti khawatir, aku juga lapar.”
“ayo pulang sama mak”
“Ndak usah mak aku mau pulang sendiri” Rima berjalan menunduk sambil terus memeluk lukisan yang di buat Jinal. sepanjang jalan Rima menangis,mengingat Jinal. Dia dulu tidak sempat berpamitan pada Jinal waktu pulang ke solo, sekarang Jinal telah meninggal. Sesampai di rumah, Rima membuka pintu dengan gontai dan langsung berjalan menuju kamar, dia tak menghiraukan panggilan mbahnya. Rima berbaring sambil tetap memeluk lukisan itu, ada berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, antara sedih dan sesal. beberapa saat kemudian sang ibu masuk kamar. “Rima,  kalau pengen ke gunung kelud, besok sama bapak sama ibu ya?”
“ndak usah bu”
“Loh kenapa? katanya Rima pengen ke gunung kelud”
“Nanti saja kalau sudah besar aku pergi ke gunung kelud sendiri”
“ya sudah kalau begitu, rima ndak jadi makan? itu sudah di siapin lo?
“Ndak bu, Rima mau tidur, capek.”
“Ya sudah kalo begitu ibu tinggal, nanti kalau lapar tinggal bilang mak Patim biar di ambilkan.”
“Iya bu” sang ibu keluar kamar dan membiarkan Rima sendiri. Rima memejamkan matanya dan masih terus menangis sampai- sampai dia tertidur dalam tangisannya..
***
“mas jinal….!”
“apa?”
“aku capek”
“tuh mesti, tadi dilarang ikut ke sawah maksa ikut”
“tapi sekarang aku capek”
“ya sudah ayo tak gendong”
“he..he…”
“uh udah tambah berat ya”
“mas nanti kalo sudah dewasa aku mau jadi istrinya mas jinal”
“ah aku ndak mau, punya istri ngeyelen kayak kamu”
“ah mas jinaaaal….”
“ha…ha…ha”







0 komentar:

Posting Komentar